Saya merasa sangat terharu dan tersentuh bahkan sampai menangis saat membaca kisah Imam Ahmad bin Hambal, sebuah karya
sastra milik sastrawan asal yaman yaitu Imam Ahmad Ali Ahmad Baktsir yang
berjudul “Imam Adzim” (Imam Agung) dalam bentuk percakapan atau drama.
Keindahan dialognya membuat saya merasa ingin sekali
untuk menerjemahkannya keadalam bahasa Indonesia. Akhirnya saya mencoba menterjemahkannya
walau dengan kemampuan yang serba terbatas. Mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk
temen-temen semua.
IMAM
AGUNG
Masuklah Imam Ahmad bin Hambal kedalam ruang pertemuan
kerajaan, maka berdirilah Kholifah Mutawakkil (salah satu kholifah bani
Abbasiyyah) dan diikuti oleh para hadirin sebagai bentuk penghormatan terhadap Imam
Ahmad. Kemudian Mutawakkil mempersilahkan Imam duduk di sampingnya.
Mutawakkil : Selamat datang
wahai Abu abdillah, kehadiranmu membuat kami merasa senang.
Imam :
Terimakasih wahai Amirul mukminin, semoga Allah senantiasa memberikan kebaikan
kepadamu, inilah aku Ahmad ibnu Hambal telah hadir di istanamu hari ini
memenuhi titahmu, maka apakah yang amir inginkan dariku?
Mutawakkil : Ada kejanggalan bagiku atas dirimu, aku ingin mendengarnya
langsung darimu.
Imam :
Dalam hal apa kejanggalan itu wahai amirul mukminin?
Mutawakkil : Benarkah engkau tidak suka untuk mendatangi majlisku wahai Abu Abdillah?
Imam :
Tidak wahai Amir, sungguh saya hanya tidak suka mendatangimu tanpa kebutuhan,
supaya saya tidak menyibukkanmu dari memenuhi kebutuhan rakyatmu.
Mutawakkil : Atau karena kamu membenci perjalanan (yang jauh) menuju kesini dari
baghdad?
Imam :
Tidak wahai Amir, sesungguhnya aku sudah merasa lemah dan kesulitan dalam
melakukan perjalanan, karena diriku yang sekarang seperti yang engkau lihat,
sudah tua renta.
Mutawakkil : Hinalah mereka, mereka mengatakan kepadaku bahwa engkau benci dan
enggan bertemu denganku, kalau tahu begini aku akan membebaskanmu dari
kesulitan (perjalanan menuju istana) itu. Maafkanlah saya wahai Abu Abdillah.
Imam :
Sudah saya maafkan sebelum engkau meminta wahai Amirul Mukminin.
Mutawakkil : Dan mengenai hadiah yang aku kirimkan kepadamu, kabarnya engkau
enggan menggunakannya, maka engkau bagikan kepada orang-orang fakir dan
orang-orang miskin.
Imam :
Wahai Amirul Mukminin, telah kudapati bahwa mereka lebih membutuhkannya, maka
saya memberikannya kepada mereka, saya tidak berniat membuatmu marah.
Mutawakkil : (Tersenyum tertawa) wahai Abu Abdillah, demi Allah saya tidak
mendengar darimu ucapan yang tercela sedikitpun hari ini.
Imam :
Mudah-mudahan Allah memanjangkan umurmu wahai Amirul Mukminin.
Mutawakkil : Aamiin. wahai Abu Abdillah, sesungguhnya engkau telah memaafkan
kesalahanku kepadamu, maukah engkau memaafkan kesalahan al-Mu’tashim Ayahku?
Imam :
Sudah saya maafkan wahai Amir.
Mutawakkil : (Bahagia) benarkah? Sudah tidak ada lagi keburukan tentangnya di
hatimu?
Imam :
Dan tidak pula pada seorangpun yang menyakitiku, sungguh telah saya maafkan
mereka.
Mutawakkil : Bahkan pada si pendosa yang terlaknat ini? (menunjuk ke arah Ibnu Abi
Duad)
Imam :
(menoleh ke-orang yang ditunjuk kholifah) siapakah ini wahai Amir?
Mutawakkil : Engkau tidak mengingatnya? Ini musuhmu Ahmad bin Abi Duad.
Imam :
Dia bukanlah musuhku wahai amir, sungguh saya telah memaafkannya.
Mutawakkil : Ini adalah orang yang menyebabkan engkau disiksa dan ditindas, ini
adalah orang yang membujuk ayahku dan pamanku dan saudaraku untuk menyiksamu.
Imam :
(Menengadahkan tangannya) ya Allah, ampunilah Ibnu Abi Duad, ya Allah terimalah
taubatnya.
Mutawakkil : (Terkejut) engkau malah mendoakannya wahai Abu Abdillah? Engkau
berdoa untuk pendosa yang jahat?
Imam :
(Meneruskan doanya) ya Allah, jika engkau menerima dari para pendosanya umat
Nabi Muhammad SAW sebagai tebusan, maka jadikanlah aku sebagai tebusan bagi
mereka.
(Membuat para hadirin sangat tersentuh
berucuran air mata, dan mereka terdiam terharu).
Mutawakkil : (Sambil menangis) Abu Abdillah, alangkah beruntungnya kami bisa
bersamamu, tinggallah bersama kami sampai yang Allah kehendaki.
Imam :
Apabila engkau mengampuniku dan mengizinkanku untuk kembali ke rumahku di Baghdad,
maka saya akan sangat berterimakasih sekali kepadamu.
Mutawakkil : Sebegitu bencinya kah engkau berada disampingku? Atau apakah ada
hak-hakmu yang belum saya tunaikan?
Imam :
Bukan begitu maksud saya, saya tidak mau engkau menjadi orang yang lebih dzolim
dari al-Mu’tashim ayahmu.
Mutawakkil : Kenapa begitu wahai Abdullah?
Imam :
Dulu ayahmu telah meracuniku dengan fitnah agama, dan sekarang engkau
menawarkanku dengan fitnah dunia, dengan apa yang bisa menghancurkanku dan
keluargaku berupa pemberian-pemberianmu. Saya telah selamat dari hal yang
pertama, saya takut kalau saya tidak akan bisa selamat dari yang kedua.
Mutawakkil : Kini saya paham maksudmu wahai Abu Abdillah, dan saya izinkan
sesuai keinginanmu.
Imam :
(Gembira) semoga Allah memanjangkan umurmu, dan selalu disisi kebaikan wahai Amirul
Mukminin.
Mutawakkil : Sebelum engkau pergi, terlebih dahulu berilah aku nasihat,
nasihatilah aku dengan sebuah nasihat, aku akan menjaganya seumur hidupku.
Imam : Wahai hamba Allah, السفر قريب (perjalanan sudah sangat dekat) والطريق طويل (dan jarak tempuhnya amat sangat panjang) والزاد قليل dan bekal yang disiapkan amatlah sedikit.
Mutawakkil : (Merenungkan sambil menangis) wahai hamba
Allah السفر قريب والطريق طويل والزاد قليل .
السفر قريب: Perjalan menuju akhirat yaitu (setelah) kematian
والطريق طويل : Jalanan atau jarak yang ditempuh untuk menuju surga atau neraka
amat sangat panjang
والزاد قليل : Akan tetapi bekal (berupa ibadah dan ketaqwaan) amatlah sangat
sedikit, maka pantaskah kita untuk masih terus bersenang-senang dengan urusan
dunia? Pantaskah kita untuk menjadi penghuni surga?
والله أعلم بالصواب
DRAMA KISAH IMAM AHMAD BIN HAMBAL
Reviewed by Kakanda Style
on
02:26
Rating:
No comments: